Feature: Lelaki Berpundak Belang

I wrote this feature for Pena Persma 2014, a Diklat Jurnalistik Tingkat Lanjut (DJTL) held by IAIN Sumatra Utara. At that time, I became one of the participant, but I decided not to come. Asides from the fact that the committee changed the speaker line, the deadline was very tight to submit a funding proposal to university. So, I had to say good bye to a chance to stroll around Sumatra Island and the worst, a chance to improve my understanding about disaster journalism.

To be honest, I compelled to join DJTL because a year ago, my friends in BPPM Balairung, Agung and Tya was join DJTL in Universitas Sumatra Utara, which presented Andreas Harsono as keynote speaker. They also had a chance to stroll around Toba Lake, used a boat. Oh, I was so envy..

But, it's okay. Let us move to different topic. This feature was inspired by my experience. At April 2014, my friends and I were in a trip to Kawah Ijen and Baluran, Banyuwangi, East Java. I was impress with the power of hundred men from Osing Clan, which become sulfur carrier at Kawah Ijen. You know, it was very dangerous profession, yet generated only a little money. Oh, I was very sad when I saw them wore only a light shirt (or even shirtless) in a chilly temperature, tried to suffer a heavy burden on their shoulder, walked up and down to the steep road while tried to avoid the visitors (if they hit the visitor, they might broke their bone and couldn't work for months). It was not surprising when you see a rash around their shoulder.

That's why I decided to write this feature. Not only to be a requirement for me to join DJTL at IAIN Sumatra Utara, but also to remind me about their struggle. Because you know? Some of them were actually on the same age as me, and they had no chance to study..

***

“Yo, slamet to?” sapa Ribut pelan.

Tak hanya sekali-dua kali ini ucapan itu diserukan Ribut. Namun berkali-kali lelaki berkulit legam itu mengucapkan hal yang sama tiap bertemu teman-temannya, sesama pengangkut belerang di kawasan Kawah Ijen.

Sudah bertahun-tahun Ribut merasakan pahitnya menjalani profesi sebagai pengangkut belerang. Menempuh jalan berbidang curam, pekerjaan mengangkut itu tak pernah membuahkan hasil sesuai tenaga yang dikeluarkan. Ia bercerita, untuk satu kali pekerjaan mengangkut belerang, para pengangkut memeroleh upah sebesar sembilan ratus rupiah untuk tiap kilo hasil yang ditambang. Namun, bisa juga upah dihitung berdasar keranjang pikulan. Satu galas pun dihargai selembar rupiah bergambar Kapitan Pattimura. “Di sini macam-macam penghitungannya,” kata Ribut.

Kebanyakan lelaki itu memakai baju perang berupa lengan panjang untuk menepis dinginnya hawa di pegunungan. Tak lupa, mereka memakai boot serta membawa pikulan bambu, yang kedua sisinya dipasangi keranjang anyaman. Jangan hanya menilai apa yang terlihat dari permukaan. Keranjang rapuh itu ternyata bisa mengangkut hingga tujuh puluh kilogram belerang. Sedangkan masker dan alat tambang, mereka sandarkan di dekat area tambang.

“Ngik, ngik, ngik ngik,” pikulan bambu itu berbunyi perlahan sembari berayun-ayun di pundak para pekerja. Sembari mengatur napas, mereka melihat kondisi jalan. Sesekali, bila mulai kecapekan, tangan mereka sigap memutar pikulan, memindahkan beban ke pundak lain yang belum terasa sengal.

Dalam sehari, cukup dua kali para pengangkut itu pergi-pulang membawa belerang. Kebanyakan dari mereka bekerja saat pagi buta dan sore hari. Sekali naik-turun kawah tempat menambang, lelaki perkasa yang jumlahnya ratusan itu membutuhkan waktu kurang-lebih tiga jam. Dalam kondisi itu, eloknya lansekap gunung, sabana dan galur di sekitar Kawah Ijen mungkin tak mereka pedulikan. Hanya keselamatan serta bobot pikulan yang ada dalam pikiran.

Photo courtesy of Nawang Wulan, 2014.
Tak usah bayangkan bagaimana letihnya. Pekerjaan bertahun-tahun itu sampai meninggalkan tato permanen berupa jejak-jejak berwarna ungu gelap di pundak. Tak hanya ruam, pekerjaan itu juga berisiko mematahkan tulang.

“Karena itu saya berhenti. Lebih baik jadi pemandu wisatawan,” kata Ribut. Lirih, lelaki berparas jenaka ini menambahkan kalau keputusannya bisa saja berubah, tergantung kondisi keuangan.

Di area tambang itu, terdapat lebih dari tiga ratus pria seperti Ribut. Tua-muda, semua menggantungkan hidup dari menambang belerang di tengah kepulan asap yang memusingkan. Batuan kekuningan itu diangkut dalam medan terjal dengan kerikil serta pasir licin yang berpotensi memelesetkan. Ancaman tak kentara yang sesungguhnya mampu membuat mereka kehilangan uang dan pekerjaan, selama berbulan-bulan masa penyembuhan setelah kecelakaan.

Toh Ribut dan banyak pengangkut belerang lain tak kehilangan keramahan di tengah pergulatan hidup itu. Tanpa segan mereka berpose, menunjukkan senyum atau pundak mereka yang memar kepada turis-turis yang bertanya dan minta berfoto bersama. Seorang pengangkut paruh baya yang tengah bertelanjang dada bahkan tanpa ragu memasang muka konyol di antara pikulan yang sedang diletakkan di timbangan.

Namun, keramahan para pria suku Osing ini tak berhenti sampai di situ. Manakala turis kelelahan atau tak sanggup berjalan, dengan setia mereka menemani, bahkan kalau perlu menggendongkan.

“Maaf, berat Mbak berapa?” tanya Ribut kepada turis yang dipandunya. Berulang kali turis itu berhenti karena kelelahan, hingga akhirnya benar-benar tak kuat berjalan.

“Lima puluh lebih,” kata Debi, perempuan kelahiran Riau itu.

“Oh, kalau gitu gampang. Berat Mbak masih kalah dibanding muatan belerang saya,” kata Ribut sambil tertawa. Geliginya terlihat, menampakkan tiga gigi seri di bagian depan yang telah lama hilang.

Dengan tenang Ribut menggendong beban, yang kali ini lebih mudah daripada pikulan yang dulu ia bawa. Sempat-sempatnya ia menyapa beberapa rekan yang berpapasan. Dalam sapaan itu, ia menitipkan doa untuk keselamatan teman-teman seperjuangan, supaya mereka diluputkan dari berbagai halangan.

INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI, 2014.

0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.