Celengan Gerabah

So, this is my seventh children stories which published in mass media. More precisely, it published at monthly Chatolic magazine, Utusan, April 2015. 

Resume
This story tells about a boy named Dimas who wants to help a couple of grandfather and grandmother. They sell a piggybank made by clay. Dimas aside his money to buy the piggybank. He persuades his friend to do the same thing.

However, after the piggybank has purchased, Dimas confused. He doesn't know what he has to do with the piggybank. Therefore, he just put his money to the piggybank until it is full of cash. Ajeng, her sister, suggests him to donate it to a charity event, dedicated to cancer's patients. 

However, on their way to the charity event, Dimas see that the piggybank's seller are moving out. They take a cart full of piggybank. Lately he understand that they have to move away because a landlord wants to build a restaurant, near their usual place to trade. Perhaps the couple of grandfather and grandmother thought, the restaurant will make them uncomfortable because the parking area is going to  run over their usual place to trade. 

Idea
I got the idea when my brother and I saw a couple of grandfather and grandmother sold a piggybank at Gejayan Street, Yogyakarta. They sold their things since morning until dawn. That's why, whenever I passed the street, I asked to myself, "Will someone buy their goods? Do they get enough money for today?"

One day, I stayed at Semarang for few days because it was a fasting period. My brother texted me, "Ramadhan blessings. I saw two people bought the piggybank at dawn." Oh, I was so happy at that time :)

Just like Dimas, honestly I wanted to help them, but I was quite confused about my way. I had a desire to bring some food to them (because I ever saw them ate "nasi jagung" for their lunch), but I was afraid if I offended them. However, if I bought their goods, I didn't know what I had to do with the piggybank, because nowadays people deposit their money in bank toch? Not in a piggybank.

Then one day, I realized that they were gone. Few days later, some construction workers built a restaurant near their usual place to trade. That's why, I decided to write this children stories. Nevertheless, after few times I tried to send this story to Bobo, Kompas, etc, this story was never published. So I sent this story to Utusan, a monthly Chatolic magazine and the editor said, he understood my feeling towards them. I didn't know that he also saw the piggybank's seller everyday at his way to work. I do wanna give the honorarium to the piggybank's seller but until now, at my fifth years of college, I never saw them again. Ah, wat jammer :(




***


Celengan Gerabah 



Dua kali melewati jalan itu, Dimas memperhatikan seorang kakek yang menggelar dagangannya. Beragam celengan dari tanah liat dijualnya. Ada yang berbentuk macan, ayam, juga zebra.

Kakek itu berjualan di pinggir jalan. Di sampingnya terdapat puing-puing rumah makan. Dimas yang melihat hal itu lalu bercerita pada Ajeng, kakaknya. 
 
Jarang ada orang berjualan celengan tanah liat di Yogyakarta selain saat Sekaten. Beda dengan di Semarang, setelah lewat masa Dugderan pun tetap ada orang yang berjualan celengan,” balas Ajeng.

Dia tahu banyak tentang Sekaten dan Dugderan karena Ibu pernah mengajaknya ke sana. Sekaten, yang biasa diadakan di alun-alun Solo dan Yogyakarta, adalah pasar rakyat yang diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi. Sedangkan Dugderan merupakan festival di Kota Semarang untuk memperingati datangnya bulan puasa.

Nama Dugderan sendiri berasal dari kata “dug” dan “der”, yang merupakan bunyi bedug dan meriam. Jaman dulu, kedua benda itu dipakai untuk menginformasikan kapan datangnya bulan puasa.

Dimas mengangguk. “Lagipula, jaman sekarang siapa sih yang masih menabung di celengan tanah liat seperti itu? Bikin uang jadi berbau apak saja,” gerutunya.

Eits, jangan salah. Ayu masih mau memakai celengan tanah liat lho,” kata Kak Ajeng sambil menunjuk celengan milik Ayu, adik mereka.

Ah, paling-paling Ayu hanya suka bentuknya saja,” komentar Dimas.

Dia pun tidak membahas masalah itu lagi. Namun beberapa hari kemudian, Dimas melihat pemandangan berbeda. Dagangan kakek itu tidak lagi dijaga olehnya. Namun oleh seorang nenek yang mengenakan kain lurik.

Mungkin istrinya,” pikir Dimas. 
 
Tebakannya benar. Esoknya dia melihat nenek itu berjualan lagi, kali ini ditemani suaminya. Mereka berdua sedang makan nasi berbungkus daun pisang. Setelah makanannya habis, kakek-nenek itu duduk menunggu dagangannya dibeli orang.

Padahal sudah malam, tapi masih berjualan,” pikir Dimas. Dia jadi tergerak untuk melakukan sesuatu bagi kakek-nenek itu supaya dagangan mereka tidak sepi pembeli.

Kakak beli saja celengan tanah liatnya!” saran Ayu.

Hah? Buat apa?”

Ayu mengedikkan bahu. Dimas berpikir keras. Sebetulnya ide adiknya itu tidak buruk juga. Kalau hanya memberi uang, tentu kakek-nenek itu tidak mau menerima kan?

Keesokan harinya, Dimas membulatkan tekad untuk tidak jajan. Dia sengaja meminta Ibu membuatkannya bekal. Di sekolah, Dimas lalu bercerita tentang kondisi kakek-nenek itu pada teman-temannya. Dia mengajak mereka melakukan hal yang sama, menyisihkan uang untuk membeli celengan.

Tidak disangka, mereka antusias mendengar idenya. Wah, Dimas senang sekali! Ia membayangkan muka bahagia kakek-nenek itu saat tahu dagangannya nanti laris dibeli.

Selama dua minggu berikutnya, Dimas berhasil mengumpulkan uang Rp 35.000,00. Dia lalu pergi ke tempat kakek-nenek itu berjualan sambil membawa dua bungkusan. Isinya, nasi jagung dan rempeyek ikan teri yang dibeli Ibu dari pasar.

Dimas lalu memilih-milih celengan yang akan dibeli. Saat membayar, dia sengaja tidak mau menerima uang kembalian. Dimas justru menyodorkan bungkusan yang dibawa.

Ini untuk Kakek dan Nenek,” kata Dimas malu-malu.

Mata kedua orang itu berkaca-kaca. Mereka tidak henti mengucap syukur dan mendoakan Dimas serta keluarganya. Dimas sampai tidak enak hati karena didoakan terus seperti itu.

Dia lalu berpamitan pulang. Sampai di rumah, Dimas kebingungan. “Sekarang celengan ini mau digunakan untuk apa?”

Saat membeli, Dimas hanya memikirkan untuk membantu melarisi dagangan kakek-nenek itu. Kini dia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah dua minggu tidak jajan, Dimas tidak rela kalau harus menyisihkan uang saku lagi dan menabung di celengan.

Mau diberikan ke Ayu, tidak mungkin. Ayu sudah punya celengan tanah liat sendiri. Sedangkan Kak Ajeng tidak pernah menabung uang sakunya di celengan, melainkan di bank.

Akhirnya tiap pulang sekolah, Dimas iseng memasukkan uang logam yang didapatnya dari kembalian. Seratus rupiah, dua ratus rupiah, lima ratus rupiah, hingga uang logam seribu rupiah pun ikut dimasukkannya. Akhirnya celengan tanah liat itu penuh juga. Saat hendak memecah celengan, Kak Ajeng mencegahnya.

Disumbangkan untuk anak-anak penderita kanker saja,” usulnya.

Hari Minggu nanti memang ada acara amal membantu penderita kanker. Selain bisa memotong rambut untuk merasakan penderitaan penderita kanker, tiap orang juga bisa menyumbangkan uang. Berapa saja, seikhlasnya. Kebetulan Kak Ajeng ikut menjadi panitia acara.

Dimas setuju. Bersama Kak Ajeng, dia membawa celengannya itu untuk disumbangkan. Namun di tengah jalan, Dimas melihat sesuatu.

Kakek penjual celengan tanah liat itu sedang menarik gerobak tua. Istrinya berjalan di belakang sambil membantu mendorong gerobak mereka. Di atas gerobak, berjejer dagangan celengan tanah liat milik mereka, tertutup terpal warna biru.

Loh, mereka mau pindah ke mana?” tanya Dimas kebingungan.

Dimas melirik tempat berjualan kakek-nenek itu. Sudah tidak ada apa-apa, hanya tanah berdebu. Di sebelahnya, pekerja sibuk menaikkan papan reklame.

Ternyata di bekas rumah makan yang sudah dihancurkan, muncul rumah makan baru. Mobil pembeli pun berjubel di tempat parkir, hingga melewati tempat kakek-nenek itu biasa berjualan.

Pantas sekarang mereka pindah. Pasti tidak enak kalau tidak bisa berjualan dengan leluasa,” pikir Dimas sedih.

Dia kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi Dimas senang, setidaknya, dulu dia sudah sempat membantu. Sekarang, uang receh di celengan tanah liat itu bisa dipakai untuk membantu anak-anak penderita kanker yang seumuran dengannya.
 




0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.