Gia, si Murid Baru

So, this is my eighth children stories which published in mass media. More precisely, it published at monthly Chatolic magazine, Utusan, September 2015.

Resume
This story tells about Yaya who feels annoyed when a new student moves to her class. During that time, Yaya keeps a bad prejudice and harbors her resentment to Gia. Until one day, Yaya finds out that Gia's mother was passed away. Yaya feels sorry, especially because she behaved badly all the time. Afterwards, Yaya offers Gia to play at her house with Tantri, Yaya's bestfriend who has became an orphan since she was child. Because of this incident, Yaya learns how to be kind to others and respects a mom's figure. 

Idea
I got the idea when I remembered about Christine, my Elementary School's friend who moved to my class when I was on my fifth grade. (Actually, I had not told him about this story--I never saw her for years and didn't have her contact. So when Christine read this, I would say sorry from my deepest heart, because I took this inspiration from her life story.) My friend in college, Sekar also became an orphan since she was child. I didn't remember where I hear or read it, but Sekar said, "If I am being sad because I had no mother, I don't know why I have to be sad. I don't even remember about her."

Contemplating about that, somehow I felt a mixed feelings: sad, confused, pity, afraid.. I knew I had no rights to feel pity towards them, but it made me thought a lot. I remembered how confused I was when my mom was not here with me when I graduated at Kindergarten and performed a traditional dance with friends. At that time, I almost cried because my teacher asked me, "Do you bring your stagen?" I thought, "I don't even know what stagen is. My mother was at hospital after bearing my brother and I didn't remember that we had to bring such a thing. My father who accompanied me didn't say or gave me anything." At the end, my teacher shifted the stagen with raffia. Ooh, I was so shame knowing that.

That's why I decided to write this children stories. My Father said it's a good story but it's also a (very long) noir. My Father was not sure that mass media would accept this kind of story to be read by children. However, Utusan did, hehe.

I dedicated this story to all people who lost their parents, both because they were sick or something else. May God bless them. Amen.



***

Gia, Si Murid Baru


Di kelas ada murid baru. Namanya Gia. Hari pertama masuk sekolah, ia menangis saat diantar Ayahnya. Teman-teman jadi bingung melihatnya. Sialnya, Bu Anita justru menyuruh murid baru itu duduk di sebelahku.

Kursi di sebelah kan milik Tantri, Bu,” protesku.

Untuk sementara saja,” bujuk Bu Anita. “Nanti kalau Tantri masuk, kalian bisa bergantian duduk di kursi belakang, yang penting Gia punya teman.”

Aku merengut membayangkan harus duduk di kursi belakang sendirian. Selama ini kami selalu duduk berpasang-pasangan. Kehadiran Gia membuat jumlah murid di kelas menjadi ganjil. Akibatnya, harus ada satu orang yang mengalah dan duduk sendirian di belakang.

Maafkan aku,” kata Gia.

Aku pura-pura tak mendengar. Gia terus memasang muka muram. Teman-teman sekelas jadi ragu mendekatinya.

Kenapa Yaya tidak bersikap baik padanya?” tanya Ibu saat mendengarkan ceritaku.

Ih, Ibu! Kan Yaya sudah bilang kalau Yaya kesal. Dia mengambil kursi milik Tantri, lalu bertingkah seperti itu,” gerutuku. “Menangis di hari pertama masuk sekolah! Seperti masih TK saja. Dia kan sudah kelas lima!”

Dia tidak mengambil kursi milik Tantri, Bu Anita yang memintanya duduk di situ,” koreksi Ibu. “Lagipula, mungkin dia masih takut dengan lingkungan baru. Yaya harus bersikap baik padanya.”

Aku diam saja. Di sekolah, aku tak memedulikan nasihat Ibu dan sibuk mengobrol dengan Tantri. Tapi Tantri sepertinya justru tertarik dengan si murid baru. Tidak seperti teman-teman lain, tanpa ragu Tantri mengobrol dengannya. Tiba-tiba Tantri menoleh ke arahku.

Yaya, boleh aku duduk di sini dengan Gia?”

Tunggu dulu.. Tantri duduk dengan Gia? Berarti, aku harus duduk sendirian di belakang?’ pikirku.

Tapi belum sempat aku menolak, Tantri buru-buru berterima kasih padaku.

Saat pelajaran Seni, kekesalanku makin bertambah. Gambar buatan Gia dipuji Bu Anita. Padahal selama ini teman-teman bilang kalau gambarku paling bagus di kelas.

Sebulan berlalu, Gia mulai mendapat teman. Tantri teman terdekatnya. Mereka sering pergi ke kantin atau perpustakaan berdua. Kadang Gia mengajak juga, tapi aku selalu menolaknya.

Sampai suatu hari, Bu Anita mengumumkan kalau sekolah kami hendak kedatangan tamu. Walikota akan meresmikan gedung baru di sekolahku. Bu Anita bilang, sekolah membutuhkan bantuan murid dalam acara itu.

Yaya, Tantri.. Ibu minta kalian menjadi penerima tamu ya. Nanti kalian akan memakai pakaian tradisional,” kata Bu Anita.

Aku mengiyakan. Tantri mengedipkan mata. Maksudnya, seperti biasa, Tantri akan menginap di rumah. Paginya, kami akan dirias oleh Ibu. Kebetulan Ibu mempunyai usaha salon.

Oh ya, satu lagi.. Ibu minta tolong Gia juga,” kata Bu Anita, membuat raut mukaku berubah masam.

Esoknya, pukul 06:20 aku dan Tantri sampai di sekolah. Ibu ikut mengantar, sambil membawa tas berisi alat rias dan pakaian cadangan. Bu Anita sudah menunggu. Beliau menjelaskan lagi tugas kami.

Tapi lima belas menit menunggu, Gia belum juga datang! Namun tiba-tiba, kami melihat Gia dari kejauhan. Tapi, kenapa ia tidak memakai pakaian tradisional dan berdandan?

Bu Anita buru-buru mendekatinya. Kata Gia, saat pulang sekolah, Ayahnya tidak ada di rumah. Ia dinas ke luar kota. Di rumah hanya ada Gia dan simbok, sementara di kota ini, mereka tidak mempunyai saudara. Makanya Gia bingung harus berbuat apa.

Ibumu..?” tanyaku.

Ibuku meninggal saat liburan lalu,” kata Gia pelan.

Saat liburan? Berarti.. sebelum Gia pindah?’ tebakku. ‘Pantas dia kelihatan muram saat hari pertama masuk sekolah.’

Bu Anita cepat-cepat menawarkan. Kalau Gia tidak siap, dia boleh tidak ikut menjadi penerima tamu. Tapi Gia ingin ikut.

Mendengar itu, Ibu segera mencari ruang kosong. Di sana, ia merias Gia. Voila..! Sekarang kami seperti kembar tiga karena memakai pakaian yang sama. Untung pakaian cadangan yang dibawa Ibu muat di badan Gia.

Di tengah tugas, Tantri berbagi rahasia. “Ibuku sudah meninggal juga. Waktu aku berumur tiga tahun.”

Gia menatap Tantri tak percaya. “Benarkah?”

Iya,” lanjut Tantri. “Kadang aku sedih, tapi tidak tahu harus sedih karena apa. Muka Ibu pun aku tak ingat.”

Aku yang mendengar hal itu jadi tak enak hati. Sejak kecil, aku dan Tantri bertetangga. Setelah ibunya meninggal, Tantri sering main ke rumahku. Dia seperti saudara. Ketika tahu bahwa Gia juga tidak mempunyai ibu, aku jadi merasa bersalah karena selama ini tidak bersikap baik padanya.

Kalau mau, kamu boleh bermain di rumahku. Nanti kita bisa belajar memasak dengan Ibuku,” tawarku.

Mendengar itu, muka Gia berbinar-binar. Setelah ini, aku mungkin juga akan menghampiri Ibu dan berterima kasih padanya. Sebab sampai sekarang, aku masih mempunyai Ibu yang baik padaku.


0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.