Kakek Pindah Rumah

So, this is my ninth children stories which published in mass media. More precisely, it published at monthly Chatolic Magazine, Utusan, January 2016.

Resume
This story tells about a Grandfather who forced  to move away from his house at Semarang's lowland area. Flood and rob routinely become problems, one of the are caused by the dirty, stink and logged river in front of the grandfather's house. The old man recall his memories when the river was clean and healthy. He tells to Andhy, his grandson that an instant solutions of flood's cause are not a wise thing to do because it will harm the poor.

Idea
This is a true story of my family. Since my grandfather was getting married, he lived in a house at Progo street, Citarum. It's a lowland area in the north of Semarang which usually affected by flood an rob. I remembered, when I was child, my mother invited me to come to grandparent's house because a heavy rain had poured into my hometown. A black, dirty and stink liquid from ditch entered into my grandparent's house, soaked a set of sofa in family room. When the rain stopped, I helped my grandmother to flush, swab and clean floor and furniture.

Mom said, it was an opposite condition when she was child. The river was clean and healthy until people could see the deepest ground level of the river. People could swim and fishing there. Even when I was on the fourth grade of Elementary School, when the river started to be black, dirty and stink, the kids still could play with rafts there. Oh, what a memories.

Around three years ago (2013), my grandparents had to move to a new home near my family's home at Pedurungan, Semarang. The environment around Progo had became more and more unhealthy, especially for my grandmother who had a history of asthma. At the very first time, my grandparents became sad because they had to leave all the memories, neighbors, friends, etc. However, after 2-3 years, they had deal with the condition.

That's why I decided to write this children stories as a gift for him. Helaas, after more than a year that I tried to send this creation to Bobo, Kompas, etc, they rejected this story. Until one day, I tried to sent it to monthly Catholic magazine, Utusan. They published it on January 2016 edition. I forgot it was before or after the day my grandmother passed away at Monday, 4th January 2016.. Oh, how I miss her and hope I can show it to her :(



***


Kakek Pindah Rumah


Hari Minggu ini, Andhy sebetulnya ingin bermain play station di rumah, tapi Mama mengajaknya ke rumah Kakek di Semarang. “Kakek mau pindah,” kata Mama. Selama ini Kakek memang tinggal sendirian di Semarang. Karena itu, Mama memutuskan untuk membantu Kakek mengepak barang-barang.

Kenapa Kakek pindah rumah segala sih, Ma?” sungut Andhy.

Hush, tidak boleh seperti itu! Kasihan Kakek, selama ini kampungnya sering kebanjiran. Kakek jadi harus membersihkan rumah seorang diri,” kata Mama prihatin.

Lagipula, banjir membuat dinding rumah jadi lembab. Penyakit asma Kakek jadi sering kumat.”
Sudah berulang kali Mama menawari Kakek pindah ke Bogor dan tinggal bersama kami, tapi rencana itu selalu ditolak Kakek. Karena itu, Mama sangat senang ketika Kakek mengabari hendak pindah ke rumah baru.
Kakek memang tidak pindah jauh, hanya ke sisi selatan Kota Semarang yang berbukit. Kota kelahiran Mama ini memang unik: berbukit di selatan dan memiliki dataran rendah di utara. Banjir sering terjadi di kampung Kakek yang berada di wilayah utara. Bahkan saat tidak hujan pun sering terjadi rob. Kata Mama, rob terjadi karena permukaan laut naik dan menggenangi wilayah yang lebih rendah dari permukaan laut. Betul saja, saat Andhy dan Mama tiba, Kakek sedang membersihkan rumah yang masih kotor sehabis rob.

Ah, lama tak bertemu, Andhy! Bagaimana sekolahmu? Maaf rumahnya masih berantakan. Rob semalam membuat air kali masuk ke dalam rumah melalui selokan,” sambutKakek ramah.
Mama segera membantu Kakek membersihkan lantai yang kini berwarna kehitaman dan bau. Sambil membersihkan, Kakek bersenandung, “Semarang kaline banjir, jo sumelang jo dipikir1...”
Andhy ingat lagu itu. Penggalan lagu “Jangkrik Genggong” itu seakan menjadi ciri khas Kota Semarang. Kota yang penduduknya tetap tenang meski sering terkena rob dan banjir.

Ora usah dipikir banget yen banjir, wong kancane yo pada kebanjiran2,” canda Kakek riang.
Andhy lalu melihat-lihat kali di depan rumah. Kali itu hanya berjarak lima meter dari rumah Kakek. Airnya kehitaman, sementara tingginya hampir rata dengan jalan. Andhy melongok, mencoba melihat ke dasar tapi tak bisa. Air kali keruh, banyak sampah yang mengambang di permukaan.

Brmm... brmm...” Mendadak dari belakang Andhy muncul sebuah truk besar. Andhy menyingkir. Ia melihat Kakek memberi instruksi pada beberapa orang untuk memindahkan meja, kursi, lemari dan kardus-kardus ke atas truk. Untung semalam barang-barang itu selamat dari rob karena sudah dipindahkan Kakek di bagian belakang rumah yang letaknya lebih tinggi.

Seandainya tidak ada rob,Kakek tak ingin pindah rumah,” kata Kakek pelan. “Banyak kenalan Kakek yang tinggal di sini. Rumah ini pun punya banyak kenangan. Kakek berat untuk pergi, tapi... apa boleh buat.”
Andhy memperhatikan raut muka Kakek yang diliputi kesedihan.

Kamu lihat kali ini? Dulu waktu Mama dan Om kamu masih kecil, mereka suka berenang dan menangkap ikan kecil-kecil di sini,” kenang Kakek.

Ah, yang benar, Kek?” tanya Andhy tak percaya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kali keruh ini pernah digunakan untuk berenang.

Tentu saja, masa Kakek berbohong?” gurau Kakek. “Tapi dari tahun ke tahun, kali ini semakin kotor. Orang membuang sampah seenaknya ke kali. Pemerintah juga hanya sekali-sekali mengeruk dan membersihkan dasar kali. Air kali yang dulunya selalu mengalir, kini hanya menggenang. Adanya kali tak membuat orang-orang merasa memiliki untuk memelihara,” kata Kakek sambil menghela nafas panjang.

Waktu Mama seumur kamu, kali ini masih bisa digunakan untuk bermain gethek, rakit bambu atau batang pisang,” kata Mama. “Tapi sekarang...?”

Andhy melihat Kakek tersenyum sedih. Ia jadi teringat ketika beberapa tahun lalu berlibur kemari. Waktu itu Kakek mengajaknya berkeliling. Beliau menunjukkan rumah-rumah yang letaknya lebih rendah daripada permukaan jalan. Kakek bilang, “Masyarakat dan pemerintah mengambil jalan pintas. Jalan ditinggikan agar terhindar dari rob dan banjir, tapi penyebab utama banjir tak diurus.”

Masalahnya, ketika jalan ditinggikan, sebagian masyarakat tak mampu meninggikan rumahnya mengikuti tinggi jalan. Akibatnya kini kedudukan rumah-rumah itu menjadi di bawah permukaan jalan. Sekarang banyak rumah itu yang kosong ditinggal penghuninya, tak terawat dan membuat lingkungan menjadi kumuh.

Tak ada yang mau membeli rumah di daerah rob, Andhy,” terang Kakek sedih.

Untung Kakek masih diberi rejeki untuk pindah rumah,” komentar Andhy.

Kakek tertawa. “Iya, Kakek bersyukur. Tapi, kasihan tetangga lain yang kurang beruntung..."

Andhy memperhatikan mata Kakek menerawang jauh. Mungkin Kakek sedang mengenang masa-masa indah ketika lingkungan sekitar rumah belum kumuh.


1 Semarang kalinya banjir, jangan khawatir, jangan dipikir…”
2 Tidak usah terlalu dipikir kalau banjir, karena teman yang lain juga kebanjiran.




0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.