Saat Ayah Kuliah

So, this is my sixth children stories which published in mass media. More precisely, it published at Kompas daily newspaper, Sunday, 14th December 2014. One funny thing, I had to wait for a year and four months until this story published. During that time, I had no idea where my creation disappeared.

Resume
This story tells about Lia who runs into a bad day at school. She is sad and has no energy to finish her day because Father has leave her and her family to study in Den Haag, Holland. However, in the end, Lia doesn't give up to face her problem. A Father's surprise and spirit when he calls his family makes Lia remember about her promise that a Father's daughter shall not be jaded.

Idea
Actually, this is an emotional story for me. During this 23 years, my father had left my family twice. First, he took a master degree at University of Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia when I was at Elementary School. Fortunately, Yogyakarta is not far away from my hometown in Semarang, Central Java Province. But at the second time, my father took a doctoral degree at Rijksuniversiteit of Groningen, Holland when I was at my last year of Junior High School-early year of Senior High School. He came back home only once in a year. So, you can imagine how I had to face the difficulties and uncomfortable situations. Because of that condition, my mother and I started to learn using email, Skype and other applications, because it were the cheapest media to communicate with him everyday. During that time, we often sang You'll be in My Heart, the ost of Tarzan, performed by Phill Collins, to strengthen ourselves. Oh, it was very hard to live apart from you family and your beloved one.


I tried to combine it using the old version of Photo Joiner so you can read it directly from the newspaper version, but it left some blank space in the middle 😞

***


Saat Ayah Kuliah

Lia tidak bisa tidur. Biasanya ada Ayah yang mendongeng untuknya sebelum tidur. Tapi kini Ayah pergi. Ia lalu melongok ke kamar Ibu di sebelah.

”Ibu, malam ini Lia tidur di sini ya?” pintanya. Digoyang-goyangkannya badan Ibu sampai Ibu terbangun.

Ibu mengucek matanya. ”Lia, ingat apa janjinya sebelum Ayah pergi? Belajar tidur sendiri, begitu kan?”

Tapi Lia takut...,” jawab Lia pelan. Namun Ibu sudah mendorongnya keluar.

Lia kebingungan. Ia tak mau kembali ke kamarnya dan tidur sendirian, tapi tidur di kamar Ibu juga tak memungkinkan. Diam-diam Lia mengintip ke dalam kamar Ibu melalui celah pintu.

”Ibu sudah tidur!” pikirnya senang.

Lia lalu masuk ke dalam. Dicarinya celah di antara badan Ibu dan Ari, adiknya yang berusia dua tahun. Tapi tak ada ruang kosong sama sekali.

”Masa aku harus tidur di bagian bawah?” pikirnya bimbang.

Lia lalu memaksakan diri tidur di bagian bawah ranjang. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Ia tak bisa berguling-guling agar dirinya tak tertendang kaki Ibu atau Ari.

Paginya, Ibu kaget saat menemukan Lia tidur di ranjang dekat kaki. Lebih kaget lagi saat melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

”Lia, ayo bangun!”

Lia terbangun dengan kaget. Ia melihat ke arah jam dinding lalu cepat-cepat mandi, mengenakan seragam dan pergi ke sekolah. Ia tak sempat sarapan sama sekali.

Lia sudah terlambat saat tiba di sekolah. Ia baru sadar topinya tertinggal di rumah. Jadilah Lia menerima dua hukuman, karena terlambat dan karena tak membawa topi saat upacara.

Coba Ayah masih ada di rumah,” pikirnya sedih.

Biasanya Lia jarang berangkat sendiri naik sepeda ke sekolah. Selalu ada Ayah yang mengantarnya. Ayah juga selalu siap membawanya kembali ke rumah saat ia sadar ada peralatan sekolah yang tertinggal.

”Uh, Lia kangen Ayah.”

Rasa kangen Lia makin bertambah di kelas. Ia tak paham apa yang diajarkan Bu Ruri, guru matematikanya. Kalau sudah begitu, biasanya Ayah membantunya belajar saat di rumah. Tapi Ayah kan sudah pergi..

Ah, Lia jadi ingin mendapatkan beasiswa bersekolah ke luar negeri supaya bisa menyusul Ayah! Tak enak rasanya kalau anggota keluarga di rumah tak lengkap begini. Dulu sebelum Ayah pergi, Ibu juga pernah tinggal di luar kota selama berbulan-bulan karena tugas. Untung sekarang Ibu sudah tak bertugas dan bisa tinggal di Semarang lagi.

”Lia, bagaimana hari pertamamu tanpa Ayah?” tanya Wuri, teman sebangkunya.

Buruk,” jawab Lia lemah.

Sebetulnya Lia senang Ayah pergi. Lia kan jadi bisa bercerita tentang Ayah dengan bangga pada teman-temannya. Ayah yang pintar, yang mendapat beasiswa untuk bersekolah hukum di luar negeri. Ayah yang menjanjikan oleh-oleh saat ia pulang nanti. Tapi baru satu hari Ayah pergi, Lia sudah merasa berantakan begini. Padahal Ayah baru akan pulang dari Belanda paling tidak setahun lagi.

”Tahu begitu, lebih baik Ayah tak usah pergi,” sesalnya dalam hati.

Saat jam pulang sekolah, Lia melangkah dengan gontai ke rumah. Ia tak banyak bicara, hanya makan sedikit lalu tidur di kamarnya. Namun saat bangun tidur, Lia mendapat kejutan.

Lho, Ayah?!” katanya kaget.

Ada gambar muka Ayah di layar komputer rumah! Rupanya Ibu sedang bercakap-cakap dengan Ayah lewat internet. Ibu duduk menghadap komputer sambil memangku Ari.

Bagaimana harimu, Sayang?” tanya Ayah.

Berantakan,” jawab Lia sambil mendekatkan mulutnya ke mikrofon di headset yang kini terpasang di telinganya.

Di sebelahnya, Ibu menimpali. ”Iya, berantakan. Nggak biasanya jam tujuh pagi baru bangun tidur. Belum mandi, lagi,” sindir Ibu membuat Lia tersipu.

Ayah terlihat tidak senang.. “Hei, Lia kan sudah berjanji. Anak Ayah..”

“Anak Ayah nggak boleh payah begini!” Lia menyelesaikan kata-kata Ayah. ”Maafkan aku, Ayah. Besok Lia akan berusaha lebih baik lagi,” janjinya.

Ayah tersenyum senang. Ia lalu bercerita. “Di sini sedang musim gugur, suhu udaranya mulai dingin dan agak berangin,” jelasnya.

Oh ya, beda waktu antara Den Haag, tempat Ayah bersekolah dan Jakarta sekitar lima jam saat musim semi dan musim panas. Tapi kalau musim gugur dan musim dingin seperti sekarang, beda waktunya enam jam. Itu berarti, pukul tujuh malam di Jakarta sama dengan pukul satu siang di sini,” lanjutnya. Tapi suara Ayah mendadak terdengar tidak jelas.

“Ayah, aku tak bisa mendengar kata-kata Ayah!” seru Lia.

Ibu dan Lia berusaha membenarkan kabel headset supaya suara Ayah bisa terdengar normal kembali. Tapi sepertinya memang terjadi gangguan sinyal internet, karena tahu-tahu wajah Ayah menghilang dari layar komputer.

Lia kecewa, ia tak bisa mendengar gambar muka dan suara Ayah. Namun Ayah sudah mengetikkan kata-kata lanjutan di kolom obrolan di layar komputer itu.

Sepertinya sedang ada gangguan internet ya? Ya sudah, kita sambung saja obrolannya lain kali. Baik-baik ya semuanya di Jakarta. Saling membantu, saling memperhatikan. Ik hou van je all,” tulis Ayah.

”Artinya?” ketik Lia. Ia mengerutkan keningnya, bingung.

“Aku cinta kalian semua..”

Ibu dan Lia tersenyum senang. Kata-kata Ayah itu menjadi sumber kekuatan bagi mereka. Ibu menuliskan kata-kata perpisahan lalu mematikan komputer.

”Coba kamu sudah bisa membaca, Ari. Pasti kamu akan senang membaca pesan Ayah ini,” kata Lia sambil mencubit pipi Ari. Mukanya kini terlihat berseri-seri.

“Aku akan bertahan dan memenuhi janjiku pada Ayah,” janji Lia pada diri sendiri.

0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.