Unpublished Story XVIII: Dokter Elsa

Hi! This is my first attempt to write a topic about student doctor but I consider it as fail. The children story consists of 1.017 words (almost two times than the limited character which is suggested by children story magazine like Bobo), and I think the problem solving is not as fun as I expected for children, mainly at the last part. The reader might think that I have an not focus story issue--which is true. Well..

After a long time, I finally try to write about this topic because two years ago (or longer), my mother suggested me to write a text like student doctor and scout activity at Elementary School. I guessed that was a good idea, but I don't have the strong notion and interest towards those issues. What I remember about my prior experience as student doctor is only about the exciting class about body's health and first aid, the shift duty in each interval between the class session, the competition and.. my phobia over blood. (Last third times I did medical check-up, I almost fainted in those two times in taking blood. Glad that is not only me, because my college friend, Nirmala ever faced the worse).

Anyway, I would like to thank my cousin, Agustitin and Mbak Henrika, my friend in lektor St. Antonius Padua Kotabaru Church, Yogyakarta who supplied me with extensive information over the first aid and immunisation.

Please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Hehe. Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any plagiarism, okay?

PS: I'll try to rewrite the story in a better and shorter way as soon as I have a preferable idea ☺


***

Dokter Elsa


“Sa, ada pasien, tuh!”

Elsa menoleh. Ia baru selesai membuatkan teh panas untuk pasien yang pingsan saat pelajaran olah raga. Sementara di pintu UKS, seorang anak berdiri sambil menangis. Kakinya berdarah.

Elsa bergidik. “Kamu saja deh, Ga. Aku belum selesai,” tolaknya.

Padahal Elsa hanya tinggal mencatat nama pasien yang sakit di buku laporan. Ia pun bisa menundanya. Tapi Elsa tak ingin melihat darah. Kepalanya pusing, lalu mual dan pingsan kalau melihat darah. Tapi, tak ada yang tahu rahasia itu.

“Masa dokter kecil takut darah,” pikir Elsa sedih.

Maka saat Arga mengambil obat merah di kotak P3K, Elsa cuma mengamati dari jauh.

“Eh, jangan langsung diteteskan! Bilas dulu lukanya di kran,” perintah Elsa.

Arga memutar bola matanya. “Kalau memang tak boleh, kenapa tidak mengurus pasiennya sendiri sih,”protesnya.

source: Pinterest
Elsa diam saja. Ia tahu, meski mereka sudah mendapat pelajaran P3K sebelum dilantik, tapi banyak teman-temannya yang masih ceroboh saat mengobati pasien yang luka. Beda dengan Elsa yang terlatih sejak kecil karena melihat Papa dan Mama bekerja.

Saat Arga membasuh luka pasien di air mengalir, Elsa kotak P3K. Ia mengambil kassa dan melipatnya. Satu lipatan untuk Arga, satu lipatan lagi ia tetesi obat merah.

“Ugh, bau obat,” keluh Elsa. Tapi ia berusaha menahannya.

“Keringkan dulu lukanya pakai kassa, lalu obati lukanya dengan ini,” kata Elsa, sebisa mungkin tidak melihat luka berdarah di kaki pasien Arga.

“Eh, jangan ditutup dengan perban!” kata Elsa buru-buru. “Luka yang boleh ditutup cuma luka dalam, berukuran luas, butuh dijahit atau mengalami pendarahan aktif.”

“Kalau kamu sehebat ini, kenapa tidak ikut lomba dokter kecil sih, Sa?” komentar Arga setelah selesai.

Kemarin, dalam pertemuan bulanan, Bu Elsa memang menunjuk Elsa menjadi ketua regu lomba dokter kecil. Namun, Elsa menolaknya.

Sejak awal ia memang tidak berminat menjadi dokter kecil. Meskipun Papa dan Mama seorang dokter, tapi Elsa lebih suka menari. Tapi, Bu Ratna bersikeras mencalonkannya.

Ini karena Elsa murid berprestasi. Di sekolah, memang hanya murid yang berprestasi yang boleh dicalonkan sebagai dokter kecil. Alasannya, menjadi dokter kecil itu berat. Tak jarang mereka harus keluar kelas karena mengikuti pembekalan, berjaga di belakang teman-teman saat upacara atau saat istirahat sekolah, atau menyiapkan lomba. Kalau tidak pintar membagi waktu, bisa-bisa murid-murid tersebut tak dapat mengikuti pelajaran.

Tapi, Elsa tak bisa bilang kalau ia takut suntikan, darah dan tak suka mencium bau obat. Teman-teman bisa menertawakannya. Apalagi setelah mereka tahu, tahun lalu Kak Cynthia, kakak Elsa menjadi ketua regu dan membawa timnya juara lomba dokter kecil di kota.

Maka Elsa pun terpaksa berbohong dan mengikuti pelatihan dokter kecil. Namun setelah dilantik, ia selalu menghindar saat menemui pasien yang terluka dan berdarah. Tak ada teman-temannya yang curiga. Tapi..

“Sa, setelah ini tidak ada tes di kelas kan? Jangan lupa bantu Bu Ratna menyiapkan adik-adik yang akan diimunisasi ya.”

Ups, Elsa lupa! Hari ini ada imunisasi di sekolah. Elsa benar-benar tidak bisa menghindar kali ini.

Maka dengan terpaksa, setelah istirahat, Elsa membantu guru mengarahkan murid-murid kelas dua untuk diimunisasi. Suasananya ramai sekali. Beberapa murid kelas dua yang belum diimunisasi menjerit-jerit karena takut. Ada juga yang menangis dan mencoba lari.

“Eh, tidak apa-apa! Tidak sakit kok, kan jarumnya tipis,” kata bu dokter menenangkan.

“Lihat, rasanya cuma seperti digigigt semut kok. Kan tidak sakit ya, Kak Elsa,” kata dokter itu menyemangati.

Elsa yang membantu memegangi lengan siswa kelas dua itu tersenyum kecut. Padahal ia sudah nyaris kehabisan napas karena takut.

“Sini, coba lihat Kak Elsa diimunisasi. Giliran kelasmu setelah ini kan, Sa?” tanya dokter yang lain.

“I-iya,” jawab Elsa pura-pura tidak takut.

Astaga! Teman-teman sekelasnya sudah datang dan menunggu giliran. Bagaimana Elsa bisa pura-pura tidak takut di depan teman-teman dan adik kelasnya?

Tapi Elsa berusaha menahan diri, biarpun kepalanya sudah mulai berkunang-kunang dan mulutnya terasa pahit.

Cusss..!

“Nah, sudah. Lihat, tidak sakit kan,” kata dokter yang bertugas ke murid-murid kelas dua yang melihat. 

Mendadak, pandangan Elsa terasa buram. Bahunya terkulai. Tak sengaja, saat pingsan, kepala Elsa terantuk meja di depan.

“Kyaaa..!”

Ruang UKS pun gaduh. Beberapa murid kelas dua yang tadinya diam ikut menjerit-jerit dan menangis karena takut. Sementara teman-teman sekelas Elsa tak henti memanggil namanya.

Tapi Elsa tak mendengar dan melihat apa-apa. Saat ia bangun, Mama sudah di sampingnya. Rupanya tadi karena panik, Bu Ratna menelepon Mama. Untung Mama sedang bertugas di puskesmas dekat sekolah.

“Ma..,” kata Elsa lemah.

 “Sst, minum teh ini dulu,” perintah Mama sambil terus mengompres benjolan di dahi Elsa dengan air dingin.

“Elsa pusing atau mual tidak? Kalau iya, besok kita rumah sakit untuk periksa.

Elsa menggeleng. Ia malu sekali. Kini semua orang tahu kalau Elsa takut suntikan dan darah.

Elsa pun memutuskan untuk cerita pada Mama; tentang ketakutannya pada suntikan, darah dan obat, tentang Elsa yang sejak awal tidak berminat menjadi dokter kecil. Juga, tentang minatnya yang berbeda dari Mama dan Papa yang berprofesi sebagai dokter dan Kak Cynthia yang memenangkan lomba dokter kecil tahun lalu. Tapi yang paling membebani, tentang Elsa yang diminta tidak bisa mengundurkan diri sebagai ketua regu dokter kecil karena penggantinya harus mengikuti lomba murid berprestasi.

“Mama senang karena Elsa mau cerita,” senyum Mama. “Kalau Elsa sudah berani cerita pada Mama, berarti Elsa juga bisa mulai terbuka ke teman-teman dong.”

Benar juga. Selama ini Elsa selalu menyembunyikan kekurangannya karena tak mau teman-teman lain tahu dan malu.

“Sekarang, apa yang bisa Elsa lakukan untuk lomba dokter kecil? Bilang ke Bu Ratna?” kata Mama.

“Kalau Bu Ratna benar-benar tidak bisa mengganti Elsa karena tidak ada pengganti lain sebaik Elsa, bagaimana?”

Elsa diam saja. Ia bingung harus menjawab apa saat Mama menanyakan pendapatnya.

“Kalau Elsa boleh mengundurkan diri, Elsa bisa membantu teman-teman belajar untuk mempersiapkan lomba,” kata Elsa lambat-lambat. “Tapi kalau tidak boleh..”

“Berarti Bu Ratna dan teman-teman mempercayai Elsa,” komentar Mama. “Kalau orang lain percaya, Elsa juga harus bisa percaya pada diri sendiri dan membuktikannya.”

“Lihat, Elsa punya kekurangan di praktek karena takut suntikan, darah dan tak suka bau obat kan. Tapi apa lagi yang Elsa bisa?” tanya Mama.

“Elsa bisa.. membantu saat praktek penyuluhan dan memimpin kelompok saat lomba cerdas cermat atau teori.”

Elsa tersenyum. Mama benar. Ia bisa melakukan banyak untuk timnya. Siapa bilang saat mempunyai kekurangan, Elsa harus menutupi dan tidak melakukan apa-apa?

“Elsa bisa membantu di bidang lain, kok!” pikir Elsa.



Inez Hapsari, 30 June 2018. 

0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.