Unpublished Story XII: (Pak) Piet Hitam

Hi! This is another story which I wrote for Christmas, which I wrote around June 2014.

I remember, when I was child, around 4 or 5 y.o, I was very afraid with the scavenger. It was because my parents always tease me by saying that the scavenger will kidnap and hidden me in his sack if I was naughty.

It became worse because when I was in kindergarten, my mom listed my name as one of the gift receiver from Sinterklas, in a mall. What I did not know, the Sinterklas came along with Zwarte Piet or The Black Piet. I was crying out loud because the Zwarte Piet looked so scary. His face is all black, perhaps painted with paint. Of course, he only became the side actor which was used by Santa to remind children to behave nicely for a year ahead. However, I was very afraid and refused to the stage without my mom. 

That memory inspired me to write this, along with another memory of my aunt's house in Batang, who always provide a clay jug filled with water and a pinch of water as jimpitan. I tried to put another message here, such as being aware of stranger for kids, but what impressed the most, perhaps, is the prejudice. Of course that is not a good side and for the editor might have an impression that this story potentially corner a profession, which is being a scavenger. That is why I was not pretty surprise if Bobo rejected it. However, I am still loving this story because like my father said, it might not be very imaginative, but it is classic ❤

Ah, looking back to the history of Zwarte Piet, I realize that perhaps, the other reasons about why mass media rejected it because of the controversy over the character. Zwarte Piet, or the Black Piet, came from Holland tradition where he became the helper of Sinterklass, a kind pastor--remember, it is totally different with Santa Clauss; even their appearance, costume and root history is different. Its physical appearance, who is black, with curly hair and red also thick lip perceived as the presentation of racism, since they also came from with dialect of Java-Suriname, one of the colonies of Dutch in America continent.

Well, what a complicated (his)story. But please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any kind of plagiarism, okay? 


***


(Pak) Piet Hitam


Kamu tahu Piet Hitam? Kata Kak Tina, kalau kita tidak menjadi anak yang baik, saat Natal, Piet hitam akan menculik kita.
Tapi, bagaimana caranya?” tanyaku heran.
source: Pinterest
Gampang. Dia selalu membawa karung ke manapun dia pergi. Karung itu untuk menampung anak-anak nakal sepertimu,” kata Kak Tina sok tahu.
Karung seperti itu?” kataku sambil menunjuk tukang sampah yang kebetulan lewat.
Ia sedang mengorek tong sampah dengan penggaruk yang dibawanya. Sebuah karung tersampir di pundak. Karung itu terlihat penuh.
Ya, seperti itu,” kata Kak Tina menakutiku.
Sejak itu, aku selalu takut dengan sosok tukang sampah. Apalagi karena setiap kali aku nakal atau berbuat kesalahan, Kak Tina selalu menakutiku dengan cerita tentang Piet Hitam.
Suatu hari, Ibu memintaku memberikan roti untuk tukang sampah yang biasa melintas di depan rumahku.
Ah, Ibu saja yang memberikan! Aku tak mau,” kataku ketakutan. Ibu mengernyit kebingungan, tapi akhirnya menuruti keinginanku.
Lain kali, Ibu berinisiatif menaruh kendi di depan rumah. Kendi itu berisi air bersih yang diganti setiap hari. Di atasnya, Ibu menaruh gelas plastik sebanyak tiga buah.
Buat apa, Bu?” tanyaku heran.
Siapa tahu ada pengemis, orang tua atau pedagang yang lewat depan rumah kita dan kehausan,” jawab Ibu.
Namun saat kuamati, jarang sekali orang lewat dan minum air dari kendi. Kecuali tukang sampah yang lewat di depan rumahku itu.
Aku bergidik ngeri. Ingin rasanya menyingkirkan kendi berisi air itu, tapi rencana itu lebih dulu diketahui Ibu.
Apa salahnya sih berbuat baik. Lagipula, sepertinya kamu kesal sekali pada tukang sampah itu,” kata Ibu jengkel.
Aku diam saja. Mana mungkin aku cerita tentang Kak Tina yang selalu menakutiku dengan cerita tentang Piet Hitam itu.
Esoknya, aku mendapat masalah. Sepertinya tukang sampah itu tahu aku tak suka padanya. Makanya, ia berusaha membalasku. Aku harus menunggu di sekolah selama satu jam. Padahal biasanya Ayah selalu tepat waktu saat menjemputku.
Jarak sekolah dengan rumahku memang tidak begitu jauh, tapi sebelum sampai rumah aku harus melewati jalan raya dulu. Saat aku sedang menunggu, tiba-tiba tukang sampah itu lewat.
Belum dijemput?” tanyanya. Dengan takut-takut aku menggelengkan kepala.
Selama ini, selain takut pada karung yang dibawanya, aku juga takut pada mukanya. Brewok dan cambang yang membingkai mukanya membuatnya tampak menyeramkan. Belum lagi sorot matanya yang selalu menatap tajam.
Bapak tahu di mana rumahmu. Rumah berpagar abu-abu yang ada kendi airnya itu kan? Sini, biar Bapak antarkan,” katanya.
Aku semakin ketakutan. Mama selalu bilang supaya tidak bicara, apalagi pergi dengan orang yang tidak kukenal. Serta-merta aku lari karena panik, tapi ia menahan tanganku.
Aduh!”
Aku jatuh di tanah. Lututku berdarah. Dengan posisi seperti ini aku tidak bisa melarikan diri. Panik, aku coba menjerit, tapi Bapak itu buru-buru menenangkanku.
Tenang, bapak tidak akan menculik kamu kok. Bapak orang baik-baik,” katanya seolah bisa membaca pikiranku.
Karena tidak punya pilihan, aku memutuskan menerima bantuannya. Namun aku tetap berjaga-jaga dengan berjalan agak jauh darinya. 
Jangan berjalan di dekat jalan, nanti tertabrak,” katanya mengingatkan.
Ia berusaha menjejeriku. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Karena kendi air itu, Bapak tidak kehausan lagi saat berada di jalan.”
Kulihat sorot mata bapak itu begitu ramah. Berbeda sekali dengan bayanganku selama ini. Serta-merta aku merasa bersalah karena ingin menyingkirkan kendi air di depan rumah. Siapa sangka kendi itu berguna bagi banyak orang.
Kuulurkan tangan untuk berkenalan. “Nama saya Andy. Bapak siapa?” tanyaku.
Pak Piet, panggil saja begitu,” sahutnya.
Glek! Namanya mirip dengan Piet Hitam! Mereka juga sama-sama membawa karung. Namun Pak Piet yang satu ini ramah. Sepanjang perjalanan ia cerita tentang anaknya yang seumuran denganku. Katanya, anaknya tidak bersekolah meski sempat mengenyam bangku SD hingga kelas lima.
Lain kali kalau Pak Piet lewat di depan rumah, mampir saja. Nanti Andy pinjamkan buku untuk dibaca anak bapak di rumah,” kataku.
Mata bapak itu bersinar bahagia.
Sepuluh menit berjalan, kami sampai di depan rumah. Ibu tampak lega saat melihatku.
Ayah baru saja menelepon, katanya lupa menjemputmu. Untung kamu bertemu dengan Pak..,” pandang Ibu kebingungan. 
Piet, panggil saja begitu, Bu,” kata Pak Piet sopan.
Ah, ya. Terima kasih sekali Pak. Maaf sudah merepotkan,” kata Ibu.
Pak Piet pun berpamitan. Setelah Pak Piet pergi, aku bercerita pada Ibu tentang Kak Tina yang mencoba menakutiku selama ini. Mata Ibu langsung melotot marah.
Dasar kalian ini! Tidak baik bercerita begitu, membuat orang berprasangka buruk pada orang lain,” sahut Ibu.
Kak Tina diam saja saat dimarahi Ibu. Hanya aku yang tersenyum sendiri, karena tahu kalau Pak Piet yang satu ini tidak menakutkan seperti cerita kakak tentang Piet hitam itu. 


0 komentar:

Post a Comment

 

Meet The Author

Inez Hapsari media & public relations enthusiast | children stories writer | jazz lover | I live to the fullest to be young and in love.